KEBAKARAN HUTAN
PEMBIMBING: Ali Efendi. MSi
Anggota kelompok:
Moh. Labib Ghiffary
M.Masrur Rizal
Jauharus Izza Ramadhana
Mirza Tahmidan Susanto
Pendahuluan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah,
sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan
erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu
pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun
1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan
beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan
Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus
berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup
kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi
hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya
mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat,
sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia
akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.
Berbagai
upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk
mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai
Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang
cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin
sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup
besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh
karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi
kebakaran hutan.
Tulisan
ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan
dan penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan
dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan
dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan
kehutanan.
II. Kebakaran Hutan
dan Faktor Penyebabnya
Api sebagai alat atau teknologi
awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam
dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik,
1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi
api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena
dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan,
memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api
unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis terhadap arang dari
tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai,
setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi
secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu.
Namun, manusia juga telah membakar hutan l ebih dari 10 ribu tahun yang lalu
untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu
abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan
membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia
(Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).
Menurut Danny (2001), penyebab
utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena aktivitas
manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses
kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran
petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan.
Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut
sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.
Kebakaran hutan besar terpicu
pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada
tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan
UNDP, 1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya
perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur,
tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan
tetapi juga di lahan non hutan.
Penyebab kebakaran hutan sampai
saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena
kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan
atau permasalahan sebagai berikut:
1.
Sistem
perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
2.
Pembukaan
hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu
maupun perkebunan kelapa sawit.
3.
Penyebab
struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan,
sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan
upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu
dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun
pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan
terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran
liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari
penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH
dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan
umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara
tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling
murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya
terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau
perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan
lainnya.
Sedangkan penyebab struktural,
umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri
perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan
tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para
investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya
kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi
mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini
kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat
tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.
III. Kerugian dan Dampak Kebakaran Hutan
3.1. Areal hutan yang
terbakar
Beberapa tahun terakhir kebakaran
hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang
cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun
1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5
juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran
hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada
tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997).
Kemudian rekor tersebut
dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 yang telah
menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan
dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat,
Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu
hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003).
Selanjutnya kebakaran hutan
Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan
kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi
dengan baik. Data dari Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi
Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998
hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar
(Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003).
3.2. Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini
menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya
setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang
menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98
mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi
sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US
$ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut
kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan
bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi
karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil
perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan
bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar
sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan
kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang
terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan,
biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap
seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.
3.3. Dampak Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan yang cukup besar
seperti yang terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan dampak yang sangat luas
disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang
sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah
melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari
udara dan meningkatkan gas rumah kaca.
Asap tebal dari kebakaran hutan
berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama
gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi
khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan
laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan
terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau
dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan
hilangnya nyawa dan harta benda.
Kerugian karena terganggunya
kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan kecelakaan
transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara
tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku
bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi
batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia dan
Thailand.
Dampak lainnya adalah kerusakan
hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar
berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan.
Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi,
dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering
muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya
terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
Analisis dampak kebakaran hutan
masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan tentang ekosistem yang
rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan
ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran
hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan
perhitungan kasar yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran
hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan
dampak tersebut sampai ke negara tetangga.
IV. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan
Sejak
kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian
diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, sebenarnya telah
dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun
penanggulangannya.
4.1.
Upaya Pencegahan
Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara
lain (Soemarsono, 1997):
(a)
Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat
Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas,
Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di
masing-masing HPH dan HTI;
(b)
Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan;
(c)
Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam
kebakaran hutan;
(d)
Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga
BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;
(e)
Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran
hutan;
(f)
Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi),
Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara
Lingkungan Hidup;
(g)
Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non
kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
4.2.
Upaya Penanggulangan
Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan penanggulangan
melalui berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997):
(a)
Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan
pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.
(b)
Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan,
baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun
perusahaan-perusahaan.
(c)
Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui
PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK
kebakaran hutan dan lahan.
(d)
Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan
BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan
pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung;
Bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea
Selatan, Cina dan lain-lain.
4.3.
Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Upaya pencegahan dan
penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil
yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau.
Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
(a)
Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan
hutan.
(b)
Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah.
(c)
Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan
untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak
belukar dan hutan masih rendah.
(d)
Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran
hutan belum memadai.
Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa
penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu
meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan
serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan
efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan faktor-faktor tersebut.
Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh
faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat,
terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan
kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan di masa depan antara lain:
a.
Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.
b.
Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau
merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat.
c.
Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun
pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan
merupakan alternatif yang bisa ditawarkan.
d.
Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak
maupun perangkat kerasnya.
e.
Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya
yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.
V. Penutup
Sebagai penutup tulisan ini dapat
dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya
terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil
hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya
diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.
2. Kebakaran merupakan
salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini makin
sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan
dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya
pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan
hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama
yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan
hutan.
3. Berbagai upaya
perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada
masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran
hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen
Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran
hutan, pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas.